JAKARTA– Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menegaskan bila ada pejabat
atau staf di lingkungan Pemprov DKI yang terbukti korupsi atau tindak
pidana lainnya, maka akan segera diberhentikan dari jabatannya dan
sebagai pegawai negeri sipil (PNS) DKI. Hal itu sudah tertera dalam
pakta integritas yang ditandatangani saat pejabat tersebut dilantik.
“Ini merupakan pengawasan tindak pidana korupsi di tubuh Pemprov DKI
Jakarta. Yang jelas, pejabat yang bersalah dan melawan hukum, pasti akan
ditindak. Saya tidak pernah menutup-nutupi itu. Siapa pun yang bersalah
akan kita tindak,” kata gubernur yang akrab disapa Foke ini, Rabu
(29/8).
Untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, lanjutnya, Pemprov
DKI mempunyai sistem tersendiri. Yakni menggunakan pendekatan
komprehensif dan konkret, salah satunya saat dilantik pejabat DKI harus
menandatangi pakta integritas yang di dalamnya ada aturan terkait
pelarangan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Kalau pejabat tersebut
terbukti melakukan tindak pidana korupsi maka harus bersedia
diberhentikan dari jabatannya.
Foke menjelaskan Pemprov DKI Jakarta berhasil mendapatkan predikat
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) berdasarkan audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Tidak hanya itu, pengelolaan APBD Jakarta juga mendapat
rating tinggi (AA+) dari perusahaan pemeringkat terbesar PT Pefindo.
Terkait temuan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi dan Keuangan
(PPATK) yang menyebutkan terjadi kasus korupsi dan melibatkan aparat
Pemprov DKI, Foke menyatakan hal itu jangan ditanyakan pada dirinya.
Wartawan dipersilakan untuk menanyakan langsung kepada PPATK langsung.
“Nanyanya jangan sama saya. Tanya sama yang ngasih pernyataan donk.
Bukti baru juga tanyanya sama mereka donk, jangan nanya sama saya. Kita
nunggu juga sama seperti anda,” tukasnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen
Indonesia (KP3I) Tom Pasaribu menilai laporan PPATK yang menyebut
Pemprov DKI sebagai pemerintahan daerah paling terkorup dinilai sebagai
bentuk upaya politik praktis lembaga audit tersebut.
Menurut Tom, kewenangan PPATK hanya sebatas menyampaikan ada
transaksi mencurigakan atau tidak. Namun demikian, jika menyebut suatu
pemerintahan daerah paling terkorup, hal tersebut sudah di luar
kewenangan PPATK.
“Ini bisa pesanan atau PPATK masuk politik praktis. Dulu waktu KP3I
melaporkan Nazaruddin, kami dorong PPATK membuka transaksi, tetapi dia
tidak buka, padahal sudah jelas Nazaruddin korupsi. Yang menentukan
korupsi atau tidak itu Kejagung, KPK, atau Polri. Bukan PPATK,” ujar
Tom, Rabu (28/8).
Tom kembali menegaskan yang bisa menyebut suatu instansi atau pemda
paling terkorup hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejagung, dan
Polri. Selain tiga lembaga itu, jika ada yang menyebut suatu instansi
atau Pemda paling terkorup maka sudah keluar dari tupoksinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar