JAKARTA - Hasil pilgub DKI Jakarta putaran kedua pada 20 September
mendatang masih sulit ditebak. Hasil survei Saiful Mujani Research dan
Consulting (SMRC) yang baru saja dirilis menunjukkan betapa
’’dekatnya’’ selisih tingkat keterpilihan antara pasangan Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dengan Fauzi Bowo-Nachrowi
Ramli (Foke-Nara).
Dari survei SMRC, bila pemilu diadakan
sekarang, maka Jokowi-Ahok unggul tipis dengan 45,6 persen. Sedangkan,
Foke-Nara dipilih 44,2 persen. Sebanyak 10,2 persen responden yang lain
masih tidak tahu atau tidak menjawab siapa gubernur dan wakil gubernur
pilihannya.
’’Dengan margin of error
4,5 persen, secara statistik kedua pasangan cenderung seimbang,’’ kata
Chief Executive Officer (CEO) SMRC Grace Natalie di Jakarta, kemarin
(15/9).
Pengumpulan data survei SMRC itu
dilakukan pada 7-11 September 2012. Menurut Grace, jarang ada pilkada
seperti pilgub DKI Jakarta. Kurang dua minggu menjelang hari pemungutan
suara, persaingan antar kandidat masih sangat dekat. ’’Memang akan
menarik untuk ditunggu. Kami juga surprises hasilnya kok ketat banget,’’ ujarnya.
Data yang dirilis SMRC itu menarik
untuk dicermati, karena saat pilgub putaran pertama, selisih kemenangan
Jokowi-Ahok atas Foke-Nara cukup signifikan. Pasangan Jokowi-Ahok
meraup suara sebanyak 42,6 persen. Sedangkan, Foke-Nara yang sempat
dijagokan menang satu putaran berada di posisi kedua dengan perolehan
34,05 persen. Jadi, terdapat selisih suara 8,55 persen.
Grace menambahkan, dukungan terhadap
masing-masing kandidat saat ini juga relatif stabil. Sebanyak 78,8
persen responden menyatakan tidak mungkin mengubah pilihannya. Namun,
di luar itu, masih terdapat 21,2 persen yang pilihannya masih mungkin
berubah. ’’Ini perlu diperhitungkan,’’ kata mantan presenter TV, itu.
Populasi survei SMRC adalah seluruh
warga DKI Jakarta yang terdaftar sebagai pemilih dalam putaran kedua.
Setiap TPS diambil 10 responden. Awalnya, jumlah sampel yang ditetapkan
adalah 1.000 orang. Tapi, data yang dapat dianalisis hanya 501
responden. Jadi, terdapat 499 responden yang tidak berhasil diwawancari.
Dijelaskan oleh Grace, saat didatangi
pewawancara dari SMRC, terdapat 224 responden yang sudah pindah rumah,
99 responden tengah tidak berada di rumah, 98 responden menolak, 73
responden tidak dapat diidentifikasi, dan 5 responden sudah meninggal
dunia. ’’Banyak yang pindah alamat. Kalau ketahuan alamatnya di mana,
masih kami kejar,’’ kata Grace.
Apakah 73 responden yang tidak dapat
diidentifikasi itu terindikasi sebagai pemilih fiktif? ’’Kami nggak
berani bilang fiktif. Mungkin dulu pernah bikin KK atau KTP di sana,
tapi terus nggak nongol kembali. Saat kami cari informasi, responden
itu tidak dikenal atau tidak diketahui oleh warga sekitar,’’ jawab
Grace.
Secara terpisah, proses debat cagub
dan cawagub DKI Jakarta yang digelar Komisi Pemilihan Umum DKI pada
Jumat (14/9) malam, memunculkan respons terhadap kemampuan dua calon.
Pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama relatif memiliki kelebihan
dibanding pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
’’Kesan emosional dari Fauzi
Bowo-Nahrawi Ramli yang cukup kuat dibanding Jokowi-Basuki T. Purnama
yang lebih landai dan apa adanya,’’ ujar Masykurudin Hafiz, manajer
pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat di Jakarta, kemarin.
Menurut Masykur, Fauzi Bowo menyindir
standar kemiskinan yang digunakan Jokowi berbeda dengan yang dibuat
pemerintah pada umumnya. Sementara Jokowi menyindir Fauzi Bowo dengan
data Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) tentang korupsi
paling tinggi di Jakarta. Demikian juga debat sengit Nahrowi Ramli dan
Basuki T. Purnama tentang pendidikan di Jakarta dengan anggaran besar
tetapi kurang merata. ’’Momen proses sengitnya debat ini bagus untuk
membangun dialektika antar pasangan calon,’’ ujarnya.
Kedua, dalam menjelaskan visi misi dan
proses debat, pasangan Jokowi-Ahok mengawali dengan memetakan persoalan
yang terjadi di Jakarta, bahkan dengan gambar dan peta, lantas
mengemukakan solusi yang ditawarkannya. Ini berbeda dengan pasangan
Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli yang kurang menjelaskan permasalahan Jakarta
dan langsung membahas soal perencanaan serta program peningkatan
pengelolaan Jakarta beserta indikatornya.
’’Misalnya tidak ditunjukkannya
praktik premanisme di Jakarta, tetapi langsung bagaimana
menyelesaikannya menjadi modal Jokowi untuk menembak Fauzi Bowo,’’
ujarnya. Hal itu menjadi keuntungan Jokowi yang memang orang baru dan
calon dari luar daerah.
Dalam satu sesi, Fauzi Bowo juga
memberikan pernyataan untuk tidak diganggu dalam menjawab pertanyaan
dan menyela, sementara Jokowi diam ketika disela meskipun juga pernah
memancing emosi lawan bicara. ’’Jawaban Jokowi juga lebih
sistemik-pemberdayaan, sementara Fauzi Bowo lebih kepada kepemimpinan
yang kuat dan efektif. Keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan
kelemahan,’’ tandasnya.(pri/bay/nw/jpnn/che)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar